Kita dan Sebuah Sepeda

Standar

Rambut ikal setengah itu melambai-lambai, warnanya hitam, tapi sebagian keemasan terpanggang kemarau. Pipi yang membuntal dan mata yang besar menghiasi wajah bundar dengan kulit kecoklatan. Pemiliknya hanyalah seorang gadis kecil yang baru saja mengenal sekolah, mencoba lupa bahwa ia pernah gagal mencicip Taman Kanak-Kanak yang di benaknya indah begitu rupa.

Sebulan yang lewat, ia nyaris batal sekolah hanya karena kebiasaan buruknya. Sepele, hanya karena sulit dan nyaris tidak mau dibangunkan di pagi hari. Alhasil, ia ketinggalan teman-teman sebayanya yang mendaftar pagi-pagi, harus berpuas dengan jatah sekolah kloter kedua dengan resiko berpanas-panas, ngantuk, dan beradaptasi dengan wajah-wajah yang tidak dikenalnya. Diawali dengan ngambek dan sesenggukan, ia akhirnya menerima meski dengan  hati yang patah.

Ah, sebenarnya gadis kecil itu terlalu takut, takut karena bapaknya kadung murka akibat penyakit “bau bantal” yang sudah mendarah daging.

“Biar saja dia tidak sekolah, salah sendiri kenapa susah dibangunkan,” kata bapaknya dengan nada yang menyebalkan hati.

Laki-laki tinggi dan berkulit gelap itu memang mengerikan sekali ketika marah. Tak ada yang berani menyahutnya kalau sudah begitu, sekalipun istrinya. Apa daya, bocah kusam itu hanya mampu tertunduk bungkam, mengutuki kesalahannya dalam diam. Mencoba memohon pertolongan pada keajaiban yang pada akhirnya datang meskipun tak sesuai harapan.

Sekolah di siang hari itu menyebalkan. Di saat semua teman-temannya tidur siang atau bahkan yang lebih buruk bermain dengan bebas tanpa seragam, ia harus dengan rela menahan kantuk, menghitung lidi-lidi sapu sepatah demi sepatah. Dan yang lebih mengerikan, muncullah siluet-siluet teman-temannya di papan tulis hitam lusuh di samping gurunya, melompati tali karet merah, atau berlari-lari sambil tertawa. Ah, ingin rasanya memaksa mamak memindahkannya ke sekolah pagi, tapi…ada wajah bapaknya muncul di kepala, diam, namun dengan tatapan yang tak perlu dijelaskan.

***

Vector_illustration_of_Happy_family_Fapp_11

Dia adalah ayahku dan aku memanggilnya bapak. Tipikal laki-laki keras kepala dan tegas luar biasa. Tak ada yang bisa membantahnya di rumah kecuali dirinya sendiri. Ia menyimpan cintanya dalam-dalam, begitu dalam sampai kami tak mampu melihatnya karena terlalu kasat mata. Tapi kami percaya, cinta itu nyata.

***

Tak ada istimewa dari gadis kecil itu. Ia lusuh dan tumbuh dengan sebagaimana mestinya, dengan keterbatasan yang ia nikmati meski kadang memilukan untuk dicandra memori. Tapi ia terbukti masih bisa tertawa lepas, masa kecil yang indah adalah obat bius terbaik. Cinta mamak dan mbah lanangnya begitu menyejukkan meskipun terkadang ia harus lelah menerka kasih dari sosok cinta pertamanya.

Hari itu, ia disodori tugas rumah dari gurunya. Menggambar pemandangan, perintahnya. Maka hasil menengok beberapa temannya yang tak selesai di kelas pun ia boyong ke rumah mungilnya dengan bangga. Dua gunung bersandingan, digambar menggunakan mistar. Sisanya hanyalah warna putih, kecuali sebuah jalan aspal besar dan rumah mungil yang sama kakunya.

Hari minggu esoknya, dikeluarkanlah buku gambar murah dengan helaian kertas tipis dan perkakasnya dari dalam tas. Dengan senyum yang pongah, ia keluar kamar dan mulai bersimpuh di lantai. Melanjutkan proyek, pikirnya. Tapi apa?

Senyum aneh terpatri di wajah bapaknya pagi itu. Nyaris tertawa mellihat gunung-gunung begitu lurus dan runcing di kertas gambar putri kecilnya. Tangan besarnya kemudian meraih karet penghapus dan menarik anaknya mendekat. Diraihnya kertas gambar itu, kemudian ia tersenyum sembari jarinya kesana kemari menunjuk garis-garis lurus di atas kertas.

“Gunung kok lancip. Sini bapak ajarin cara gambar gunung yang bener,” ujarnya penuh kasih.

Bapaknya adalah seorang pelukis terselubung. Lukisan-lukisannya hanya dikoleksi para sopir truk dan pengguna jalan. Beberapa yang terselamatkan masih bisa digantung di dinding rumah mbahnya. Seringkali, ia menaruh minat begitu besar pada cara bapaknya menarikan kuas. Kagum bagaimana warna-warna cat air itu ditoreh satu demi satu di atas kertas. Sampai pernah suatu hari, ngotot ia minta dibelikan cat air.

Gadis itu terenyuh sementara kata-kata dari lidahnya seolah terbang. Ada goresan indah yang mewaktu di hatinya, kasih yang diterka-terka itu benar ada. Tak percuma telah percaya.

***

Kadang aku berpikir, apa ia pernah bangga pada kami. Atas apa-apa yang kami perjuangkan selama sekolah, semata-mata hanya sekedar ingin membuatnya bahagia, membuatnya percaya bahwa kami ingin berterima kasih. Tapi ia tak pernah bertanya “bagaimana sekolahnya, Nak?” terlebih memuji, tak pernah ada yang seperti itu keluar dari mulutnya lalu sampai di telinga kami dengan indah.

Aku lebih sering cemburu, pada teman-temanku atas cinta-cinta pertama mereka.

***

Setiap hari Ani diantar oleh ayahnya ke sekolah, sementara Lia selalu menunggu papanya menjemputnya sepulang sekolah. Apa kabar gadis kecil itu? Selepas kelas 1, mamaknya melepasnya pergi sekolah sendiri, dan selalu pulang ramai-ramai bersama teman yang rumahnya satu arah.

Kemarin Dina bercerita kalau ia ke pasar bersama ayahnya mencari tas sekolah baru. Lebaran yang lalu, Mia juga jalan-jalan bersama orangtuanya berburu baju. Lalu apa gerangan yang dirasakan bocah itu? Tak pernah sekalipun seumur hidupnya ia ke pasar bersama bapaknya, merengek-rengek minta dibelikan ini itu. Tak pernah. Apapun yang dibutuhkan selalu dibicarakan lewat mamaknya. Siapa yang tahu, dalam hati kecilnya ia begitu mendamba, pergi jalan-jalan bersama bapaknya, menggandeng tangan bapaknya kemana saja, menarik-nari baju bapaknya sambil menunjuk barang yang dipinta. Tapi realita tak selalu sama dengan apa yang ada dalam benaknya. Dan jadilah itu semua cerita basi, yang ia simpan jauh-jauh di dalam peti.

Kadang ia bertanya, kenapa bapak tak pernah mengambil rapornya, mengantar dan menjemputnya di sekolah, atau mengajaknya jalan-jalan. Apa bapaknya tidak sayang? Bahkan setiap catur wulan, bapak hanya melihat rapornya untuk keperluan tanda tangan. Rapor diberikan, tanda tangan ditintakan, lalu dikembalikan tanpa ba bi bu, tanpa tersenyum, tanpa protes ini itu, pun tanpa pujian sekalipun memang diharapkan dan pantas diberikan. Apa itu namanya cinta? Ah, teman-temannya terlalu sering membuatnya iri saat rapor mereka dikritisi, saat prestasi mereka dipuji dan dihadiahi. Apalah artinya rasa iri dan cemburu darinya yang kecil itu, ia terlalu takut untuk bertanya, maka pertanyaan itu cukup dipendam dalam hati saja.

Maka sebuah sepedalah yang telah ditakdirkan menjawab gundah di hati bocah malang itu. Ya, sebuah sepeda yang akan dikenang seumur hidupnya, sebuah sepeda yang dapat dengan mudah membuatnya berlinang-linang ketika mengenangnya.

***

Adalah sebuah sepeda, warnanya ia sama sekali tak ingat. Sepeda itu tiba dirumah untuk pembuktian cinta, yang tak satupun tahu kecuali Tuhan dan semesta. Sepeda itu milik bapaknya.

Hari yang indah meski gadis kecil itu tak tahu. Jarum jam merangkak seperti biasa, menginjak garis demi garis seiring matahari yang semakin tinggi. Seragam putih merah sudah rapi terpasang di badan, tak kusut meski tanpa setrikaan. Tas hijau toska mengkilat sudah disiapkan. Tak ada yang istimewa dari cuaca, masih tengah hari yang sama. Mamak datang dengan sisir di tangan, sedikit mengumpat karena jepit-jepit rambut kecil raib sebagian. Siapa lagi yang disalahkan kalau bukan pemilik rambut pirang setengah ikal yang kini duduk manis menunggu umpatan-umpatan itu makin dekat di telinga.

“Dibeliiin barang kok gak dijaga betul-betul, pasti hilang satu-satu. Lama-lama habis,” suara mamak pecah di udara sementara sisir naik turun di atas rambut sejumput putrinya. Hari ini ia dikepang dua, klimis, dan rapi.

Sepatu sudah ditali dan ia siap melangkah seperti biasa, sendirian melewati lapangan bola dan kebun-kebun ubi sampai suara yang sama menahan langkahnya.

“Pergi bareng bapak aja, naik sepeda sana. Sekalian bapak mau ke depan,” kata mamak sesaat sebelum kaki mungil itu hendak meninggalkan rumah. Gadis kecil itu terkesiap, seolah ada kembang api yang meletup-letup di perutnya.

“Diantar bapak ke sekolah, dibonceng naik sepeda. Ahhh…ini yang ditunggu dari dulu,” pikirnya. Maka bersemangatlah hatinya hari itu, bertambahlah tekadnya untuk belajar lebih baik, jadi juara umum kalau perlu.

Sepeda dikeluarkan, ia melompat cepat ke boncengan, bapak mencaari keseimbangan, lalu melajuah dua roda itu diterpa angin yang menyejukkan. Ia tersenyum, bernyanyi-nyanyi kecil dalam hati. Kali pertama yang tak pernah ada lain kali yang sama. Sepeda itu membuktikan cinta, secara sederhana.

***

Maka kini wajahmu kupindai dengan teliti dalam memori
Sepeda, kita, dan seragam putih merahku adalah mozaik sejarah yang indah
Yang selalu bahagia ketika kuputar ulang, meski harus dengan berlinang-linang

About ayu_kmn

I AM I’m a daughter, a sister, a granddaughter, a niece, a cousin, a friend, a best friend, a true friend. I’m a partner, a young girl, a grown woman. I’m a confident and scared, terrified and excited. I’m an introvert, loving and caring, thoughtful and hopeful. I’m sick and tired, shy and friendly, and careful and careless. I’m broken and whole. I’m misunderstood, misguided, and mislead. I’m hardworking and determined but a little scared on the inside. I wish on stars and dream my dreams. I pray to the God and cry on my tears. I’m a hater and lover, a smart and silly, a weird and wonderful. I’m a student and a teacher. I’m a stubborn and obedient. I smile on the outside while I’m dying on the inside. I walk on eggshells, and I walk on fire. I’m a cube of ice and a shine of the star. I believe in passion but not true love. I love you and I push you away. I want you but not so close. Yes, I’m nothing, something, and everything. ALL at ONCE. (Anonymous and Me)

Tinggalkan komentar